27.1.12

Quote of the day

" I'm a believer of "passion", but at the same time, I do think that "passion" should be balanced. I disagree with the thinking that if you're into arts, then you don't need to study maths. Or if you've managed to run a business even before you graduate, then there's no point of finishing school or university. Life should be balanced. Like day and night. Like fiction and fantasy. Practice goes well with theories. Sometimes, we abuse the idea of "passion" that we neglect the fact that in life, it's not always about you. And even when it's about you, you need to be complete. Don't use "passion" as an excuse to miss out on other things life has to offer. Don't just live in your own passion-bubble and not touch other worlds. Be out there and stay current." - Diana Rikasari.

26.1.12

Movie Review : Death Note

Death Note.
Beberapa hari yang lalu saya menuntaskan ketiga seri film ini. Awalnya saya tidak begitu tertarik, karena saya pun sudah tamat membaca versi manganya. Tapi karena pada saat itu saya nganggur berat, jadi saya memutuskan untuk melihatnya. Bukan bermaksud spoiler, karena Death Note, Death Note 2: The Last Name dan Death Note 3,5 : L Change the World sudah muncul pada tahun 2006, hanya mencoba untuk mereview saja. 





Dari alur cerita kurang lebih sama dengan yang ada di manga. Yagami Light ( dalam spelling jepangnya dibaca Raito ) yang diperankan oleh Tatsuya Fujiwara, mahasiswa hukum di Kanto memiliki sebuah buku bernama Death note di mana ketika ia menuliskan nama seseorang di dalamnya, maka tak lama kemudian orang tersebut akan mati. Target Light adalah para kriminal yang bebas berkeliaran. Ia mengeksekusi targetnya dengan menggunakan nama Kira. Karena tiba-tiba banyak sekali kriminal yang mati secara mendadak, maka pihak kepolisian bersama L, diperankan oleh Kenichi Matsuyama, seorang detektif muda ternama, menyelidiki siapa dalang dibalik pembunuhan tersebut. 
Mengenai cast, saya akan membanding dengan karakter yg ada di manga dengan yang ada di film.

Yagami Light 

L. Lawliet

Misa Amane, diperankan Toda Erika

Menurut saya Tatsuya Fujiwara kurang memenuhi karakter Yagami Light dalam Death Note Manga. Wajah Tatsuya terlalu cute untuk menjadi Light yang pendiam dan tajam sehingga kesan 'mengerikan' dalam diri Light tidak tersampaikan. Kemudian untuk L, saya merasa Kenichi Matsuyama memang tepat dalam memerankan karakternya. Ekspresi hingga gerak-gerik juga cara bicaranya menurutnya saya, sangat L. Yang mengejutkan, yang menjadi Misa Amane dalam Death Note Movie adalah pemeran Kanzaki Nao dalam Liar Game. Yup, Toda Erika! Menurut saya, Toda Erika kurang 'gelap' dalam memerankan Misa. Memang secara penampilan sangat cocok dengan karakter Misa yang sangat gothic. Namun mungkin karena ekspresi Toda Erika terlalu polos, maka menurut saya kurang cocok memerankan Misa Amane.

Yak! Segitu saja review dari saya. Selamat menonton!

Nb : Kenichi Matsuyama bisa membuat adik saya sampe nosebleed! >,<



25.1.12

Antara roti dan nasi bebek.

Q : Lebih kenyang yang mana ; roti atau nasi bebek.

itu pertanyaan yang aneh. dan saya tidak bisa memberikan jawaban pasti, kecuali tergantung.
ya, tergantung kapasitas perutnya.
jika kamu merasa kenyang dengan sepotong roti, berarti jawabannya adalah roti.
namun, jika belum memakan nasi kamu tidak akan bisa kenyang, maka nasi bebek adalah jawabannya.

tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali Tuhan.

sebenarnya, kamu bisa kenyang dengan hanya sepotong roti.
lagi-lagi hal itu tergantung pada diri kamu sendiri.
seperti diet, kamu berusaha mati-matian untuk tidak makan berlebih.
berusaha sepotong roti dapat memuaskan perutmu.

bagaimana caranya?

dengan menahan diri.
manusia memang makhluk yang tidak puas dan selalu mencari yang terbaik.
namun jika kita berusaha bersyukur dengan sepotong roti yang ada di dalam perut kita, maka Tuhan akan memberikan rasa kenyang, sehingga kamu tidak perlu membeli nasi bebek lagi.

Bersyukurlah, maka kamu akan merasa kenyang.


23.1.12

Pernikahan dan Kebebasan.

Pernikahan.

Saya mungkin terlalu dini mengucap kata sakral tersebut. Saya masih 1/5 bagian dari abad yahh.. meski UU mengatakan saya sudah boleh melakukannya. But one thing i know, ini mengusik saya.

Apa sih yang ada dibenak kalian ketika mendengar kata Pernikahan?

Happy? Probably. Is it really ‘happy things’ in your entire life?

Saya tidak sedang mempengaruhi pandangan orang mengenai indahnya pernikahan. Bahkan saya belum pernah mengalaminya! Lagipula, dalam islam hal tersebut merupakan sunah rasul. Bagi yang melaksanakan di anggap sebagai ibadah. Memang, saat pernikahan berlangsung, hal bahagia begitu menyelimuti seluruh orang yang terlibat di dalamnya. Insan laki-laki dan perempuan akhirnya mengikatkan diri di hadapan Tuhan, dan tentunya menjadi sah secara hukum. Mereka menjadi halal satu sama lain. Ya, sangat melegakan.

Tapi bagaimana dengan kebebasan? Apakah keduanya masih memilikinya? Kebebasan saat menjadi diri sendiri?

Semua orang pasti mempunyai prinsip hidup. Seorang teman bercerita pada saya mengenai prinsip hidupnya. Dia memang takut akan kesendirian, namun jika ada seseorang yang membebani ia untuk meraih tujuan hidupnya, which is membahagiakan orang tuanya, ia tak segan-segan untuk meninggalkannya. Oleh karenanya ia tak pernah takut akan sebuah ikatan, pun ia tak gentar pada sebuah perpisahan. Well, I have to say, dia tidak takut memilih. Ketika saya bertanya, bagaimana jika yang ia tinggalkan benar-benar merupakan orang yang tepat untuk dia? Ia menjawab, kamu tidak akan tau jika kamu tidak meninggalkannya. Well, siapa yang ingin berpisah dengan orang yang menurut kalian tepat untuk kalian? Tidak ada, kan? Tetapi ia memaparkannya seolah membuka benteng pertahanan saya, yang kemudian mengusik saya tentang pernikahan.

Apakah kita sebagai wanita, masih mempunyai kebebasan untuk menjadi diri sendiri setelah menikah?

Kata orang Jawa, wanita itu 'manak, masak, lan macak'. Menurut saya itu bukan hinaan, ya, itu benar. Manak, masak lan macak itu memang kewajiban kita sebagai istri. Siapa yang akan memberikan keturunan keluarga kalian kalau kalian tidak mengandung anak? Suami kalian?
Dan wanita tanpa bisa memasak? Itu konyol! Apa yang membuat suami kalian tidak sabar ingin pulang ke rumah kalau tidak mencicipi masakan kalian? Meski menunya hanya telur mata sapi dan kecap. Wanita dan berdandan memang tidak bisa lepas, maka jangan sampai kau menyambut suamimu pulang kerja dengan memakai daster lusuh dan muka yang berminyak. Itu akan membuatnya berputar dan kembali ke kantor.
Tapi apakah setelah melaksanakan kewajiban itu kita akan mendapatkan hak kita sebagai wanita? Misalnya, saya hobi menulis. Apakah setelah menikah nanti, saya masih bisa melakukannya? Menulis tanpa batas?

World Health Organization (WHO) dalam World Report pertamanya mengenai “Kekerasan dan Kesehatan” di tahun 2002, menemukan bahwa antara 40–70% wanita yang meninggal karena pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri. 

Fakta diatas kemudian membuat saya melemparkan pertanyaan lagi, apakah kekerasan, dalam hal ini adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT ) hanya melulu soal penyiksaan secara fisik? Ternyata dalam sebuah jurnal yang saya temukan (jelasnya bisa klik di sini ), disebutkan bahwa KDRT merupakan segala bentuk perbuatan yang menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, luka, dan sengaja merusak kesehatan. Berarti selain penganiayaan fisik, penganiayaan secara psikis dan emosional juga disebut sebagai KDRT. Dalam sebuah jurnal pula ( jelasnya bisa klik di sini ) dipaparkan beberapa alasan mengenai penyebab terjadinya KDRT. Antara lain adalah Kurangnya komunikasi dan ketidak harmonisan, Alasan ekonomi, Ketidakmampuan mengendalikan emosi, ketidakmampuan mencari solusi rumah tangga dan kondisi mabuk karena pengaruh minuman keras dan narkoba.

Setelah membaca beberapa jurnal mengenai ini, saya kemudian berfikir kembali. Apakah memang kita mempunyai kebebasan untuk menjadi diri sendiri setelah menikah? Saya memahami bahwa beberapa hal menjadi tidak sama ketika kita menikah. Kebiasaan hidup yang dijalani seolah berbeda 180 derajat. Kita harus ini, kita tidak boleh itu, dan lain sebagainya. Saya pun sadar, secara agama, seorang istri memang harus patuh kepada suaminya. Menurut saya itu bukan suatu bentuk penindasan terhadap kaum wanita. Seharusnya kita sadar bahwa laki-laki yang kita pilih sebagai suami, bukan hanya menjadi pasangan yang dapat mengerti kita, namun juga memimpin keluarga. Kodrat laki-laki adalah menjadi imam bagi keluarganya. Menurut saya logis saja ketika suami mengimbau istri untuk lebih lembut atau meninggalkan hal-hal buruk yang bisa merugikan keluarga dan tentunya diri kita sendiri. Namun, apakah batas mengenai hal-hal yang merugikan keluarga dan diri sendiri begitu jelas seperti batas antara hitam dan putih?

Saya kemudian menjadi takut.

Saya, kamu, dia, mereka, masing-masing orang mempunyai prinsip hidup. Prinsip hidup inilah yang kemudian akan menjadi sepatu kita, untuk berjalan ke arah tujuan kita. Patut kita sadari, dalam perjalanan pasti kita akan menemukan berbagai macam gesekan sehingga kadang membuat sepatu kita menjadi lebih tipis. Seseorang bisa saja memberikan saran itu membeli sepatu baru, tapi itu sepatu kalian. Kalian mempunyai hak untuk tetap memakainya atau membuangnya ke tong sampah. ( Dan saya tahu, membuat pilihan itu sangat sulit. ) Saya kemudian menjadi takut. Bagaimana jika ketika menikah, sepatu saya bergesekan dengan sepatu suami saya? Bagaimana jika suami saya menghimbau untuk segera membeli sepatu yang baru? Inilah yang kemudian mengusik saya ketika mendengar kata pernikahan. Apakah kebebasan untuk mempertahankan sepatu hidup dalam bahtera pernikahan? Memori saya berputar kepada potongan-potongan film '5 Days of War'. Wanita bagaikan negara Georgia yang sedang mempertahankan kemerdekaannya yang diserang oleh Rusia. Seperti Georgia, wanita yang memilih untuk menggunakan haknya untuk mempertahankan sepatunya pun harus siap terhadap segala macam gesekan. Diplomasi, merupakan jalan damai sebuah negara ketika sedang berkonflik. Oleh karenanya, apabila terjadi gesekan dalam kehidupan rumah tangga, kita bisa menyelesaikan dengan bicara. Ya, bicara. Seperti yang dipaparkan oleh jurnal yang saya katakan di atas, bahwa kurangnya komunikasi bisa menyebabkan terjadinya KDRT. Oleh karenanya kita harus pintar-pintar menjaga komunikasi. Kalau kita pintar, kita bisa menyelesaikannya dengan kepala dingin tanpa korban piring pecah, salah satu bentuk pengendalian emosi yang bisa mengurangi penyebab adanya kekerasan. Masalah apapun, pasti akan ada jalan keluarnya tanpa harus menggunakan kekerasan. Saya percaya, para wanita yang telah menikah pasti mempunyai laki-laki yang akan mengerti mengapa istrinya begitu ngotot mempertahankan sepatunya. Meski bukan sekarang, meski untuk beberapa tahun ke depan. Yah, patuh kepada suami boleh saja, tapi ingatlah, tidak ada manusia yang sempurna, suami pun perlu seseorang untuk mengingatkan dia ketika salah. Dan satu hal yang tak dapat dipungkiri adalah sepatu ini merupakan sebuah pengalaman yang tidak mungkin kita tinggalkan. Pengalaman berharga yang kemudian membentuk sebuah prinsip hidup. Wanita mana saja pasti tidak mau mengalami KDRT, tidak mau mengalami tekanan.
  
Cinta boleh saja buta, tapi kita harus punya mata. 

22.1.12

Aku dengar, tapi nanti dulu, ya?

Ketika saya membaca salah satu tweet @zarryhendrik :
“Terkadang kau merasa seakan sudah mendengar kata hatimu, sementara kau tidak membaca kata-kata yang Tuhan tulis di dalamnya.”
Dunia disekitar sekejap mengecil. Menyisakan saya dan sebuah ruang gelap yang besar dan sebuah lampu sorot yang menerangi saya dalam keadaan terduduk lemas. Sebuah tweet membuat saya bermonolog dengan diri saya sendiri. Berdiskusi mengenai sebuah roti yang sedang saya tunggu mengembangnya. Berbagai pertanyaan terlempar, dan banyak yang berakhir terpantul, tanpa sempat - atau lebih tepatnya, bisa - saya tangkap. 
Lampu sorot dan ruang gelap sungguh tak banyak membantu. Apalagi posisi duduk lemas saya, hanya membuat suasana menjadi semakin menyedihkan. Saya butuh cermin. Saya butuh melihat teman monolog saya. Saya butuh melihat saya. Mungkin ruang gelap tak selamanya hanya hiasan. Begitu pula dengan lampu sorot. Mereka membuat saya begitu fokus melihat bayangan diri saya dalam cermin. Awalnya saya begitu marah dengan bayangan yang ada di cermin. Mengapa sangat tak sabaran, mengapa begitu egois, mengapa begitu berantakan. Namun sedetik kemudian, saya merasa kasian. Ya, kasian karena bayangan ini seolah tidak mempunyai jiwa, seolah ia menggunakan jiwa lain untuk mengisinya. Kasihan, karena ia menjadi sosok lain.
Tiba-tiba ruangan gelap berubah menjadi sebuah persimpangan. Cih! Lagi-lagi persimpangan. Saya benci persimpangan! Mengapa harus memilih kembali? Mengapa?! Mengapa harus memilih jika keduanya sama-sama tidak menguntungkan, jika keduanya sama-sama memiliki resiko?! Tuhan benar-benar menguji saya yang terlalu santai, yang hanya mengikuti segala skenario-Nya.
...
“Tuhan, aku memang sudah mendengar hatiku berkata. Tapi biarkan aku tidak membaca apa yang Kau tulis dulu, ya? biarkan aku tak mendengar apa yang hati bicarakan dulu, ya? aku benar-benar ingin mengetahui pilihanku. Aku ingin keluar dari zona aman.”

Menunggu Rotiku Mengembang.

aku hanya tinggal menunggu, 'waktu' membuat rotiku mengembang.
trial dan error sudah bisa kulewati. berhasil atau tidak, tergantung rotiku ini.
aku sudah mati-matian mencari resep terbaik. resep rahasia dari dapur Italia katanya.
karena merupakan resep impor, pontang-panting aku mencari bahannya yang terkadang terasa asing di telinga.
aku ikuti langkahnya, satu persatu.
tidak jarang aku mengulang kembali gara-gara salah memasukkan telur.
yah, aku bersabar saja. karena katanya resep ini merupakan resep yang terbatas.
lidahku penasaran. jarang sekali ia merasa cocok dengan suatu makanan. ketika cocok, pastinya makanan itu lezat dan tentunya istimewa.

semua langkah sudah tuntas ku kerjakan.
kuteliti kembali, barangkali ada yang luput.
sekarang, adonan sudah di dalam oven. kuserahkan sisanya pada sang roti dan keajaiban Tuhan agar hasilnya memuaskan.

2.1.12

14 Januari 2012

Sial! Ternyata saya ketinggalan berita. Sudah lama tidak mengaktifkan BIS membuat saya jarang membuka twitter, dan karena ini juga saya ketinggalan berita tentang buku T(w)ITIT!-nya Djenar Maesa Ayu. Untungnya terbitnya masih tanggal 14 Januari nanti. Ahhh. Really can't hardly w-a-i-t! :) :) :)