Pernikahan.
Saya mungkin terlalu dini mengucap kata sakral tersebut. Saya masih 1/5 bagian dari abad yahh.. meski UU mengatakan saya sudah boleh melakukannya. But one thing i know, ini mengusik saya.
Apa sih yang ada dibenak kalian ketika mendengar kata Pernikahan?
Happy? Probably. Is it really ‘happy things’ in your entire life?
Saya tidak sedang mempengaruhi pandangan orang mengenai indahnya pernikahan. Bahkan saya belum pernah mengalaminya! Lagipula, dalam islam hal tersebut merupakan sunah rasul. Bagi yang melaksanakan di anggap sebagai ibadah. Memang, saat pernikahan berlangsung, hal bahagia begitu menyelimuti seluruh orang yang terlibat di dalamnya. Insan laki-laki dan perempuan akhirnya mengikatkan diri di hadapan Tuhan, dan tentunya menjadi sah secara hukum. Mereka menjadi halal satu sama lain. Ya, sangat melegakan.
Tapi bagaimana dengan kebebasan? Apakah keduanya masih memilikinya? Kebebasan saat menjadi diri sendiri?
Semua orang pasti mempunyai prinsip hidup. Seorang teman bercerita pada saya mengenai prinsip hidupnya. Dia memang takut akan kesendirian, namun jika ada seseorang yang membebani ia untuk meraih tujuan hidupnya, which is membahagiakan orang tuanya, ia tak segan-segan untuk meninggalkannya. Oleh karenanya ia tak pernah takut akan sebuah ikatan, pun ia tak gentar pada sebuah perpisahan. Well, I have to say, dia tidak takut memilih. Ketika saya bertanya, bagaimana jika yang ia tinggalkan benar-benar merupakan orang yang tepat untuk dia? Ia menjawab, kamu tidak akan tau jika kamu tidak meninggalkannya. Well, siapa yang ingin berpisah dengan orang yang menurut kalian tepat untuk kalian? Tidak ada, kan? Tetapi ia memaparkannya seolah membuka benteng pertahanan saya, yang kemudian mengusik saya tentang pernikahan.
Apakah kita sebagai wanita, masih mempunyai kebebasan untuk menjadi diri sendiri setelah menikah?
Kata orang Jawa, wanita itu 'manak, masak, lan macak'. Menurut saya itu bukan hinaan, ya, itu benar. Manak, masak lan macak itu memang kewajiban kita sebagai istri. Siapa yang akan memberikan keturunan keluarga kalian kalau kalian tidak mengandung anak? Suami kalian?
Dan wanita tanpa bisa memasak? Itu konyol! Apa yang membuat suami kalian tidak sabar ingin pulang ke rumah kalau tidak mencicipi masakan kalian? Meski menunya hanya telur mata sapi dan kecap. Wanita dan berdandan memang tidak bisa lepas, maka jangan sampai kau menyambut suamimu pulang kerja dengan memakai daster lusuh dan muka yang berminyak. Itu akan membuatnya berputar dan kembali ke kantor.
Tapi apakah setelah melaksanakan kewajiban itu kita akan mendapatkan hak kita sebagai wanita? Misalnya, saya hobi menulis. Apakah setelah menikah nanti, saya masih bisa melakukannya? Menulis tanpa batas?
World Health Organization (WHO) dalam World Report pertamanya mengenai “Kekerasan dan Kesehatan” di tahun 2002, menemukan bahwa antara 40–70% wanita yang meninggal karena pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri.
Fakta diatas kemudian membuat saya melemparkan pertanyaan lagi, apakah kekerasan, dalam hal ini adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT ) hanya melulu soal penyiksaan secara fisik? Ternyata dalam sebuah jurnal yang saya temukan (jelasnya bisa klik di sini ), disebutkan bahwa KDRT merupakan segala bentuk perbuatan yang menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, luka, dan sengaja merusak kesehatan. Berarti selain penganiayaan fisik, penganiayaan secara psikis dan emosional juga disebut sebagai KDRT. Dalam sebuah jurnal pula ( jelasnya bisa klik di sini ) dipaparkan beberapa alasan mengenai penyebab terjadinya KDRT. Antara lain adalah Kurangnya komunikasi dan ketidak harmonisan, Alasan ekonomi, Ketidakmampuan mengendalikan emosi, ketidakmampuan mencari solusi rumah tangga dan kondisi mabuk karena pengaruh minuman keras dan narkoba.
Setelah membaca beberapa jurnal mengenai ini, saya kemudian berfikir kembali. Apakah memang kita mempunyai kebebasan untuk menjadi diri sendiri setelah menikah? Saya memahami bahwa beberapa hal menjadi tidak sama ketika kita menikah. Kebiasaan hidup yang dijalani seolah berbeda 180 derajat. Kita harus ini, kita tidak boleh itu, dan lain sebagainya. Saya pun sadar, secara agama, seorang istri memang harus patuh kepada suaminya. Menurut saya itu bukan suatu bentuk penindasan terhadap kaum wanita. Seharusnya kita sadar bahwa laki-laki yang kita pilih sebagai suami, bukan hanya menjadi pasangan yang dapat mengerti kita, namun juga memimpin keluarga. Kodrat laki-laki adalah menjadi imam bagi keluarganya. Menurut saya logis saja ketika suami mengimbau istri untuk lebih lembut atau meninggalkan hal-hal buruk yang bisa merugikan keluarga dan tentunya diri kita sendiri. Namun, apakah batas mengenai hal-hal yang merugikan keluarga dan diri sendiri begitu jelas seperti batas antara hitam dan putih?
Saya kemudian menjadi takut.
Saya, kamu, dia, mereka, masing-masing orang mempunyai prinsip hidup. Prinsip hidup inilah yang kemudian akan menjadi sepatu kita, untuk berjalan ke arah tujuan kita. Patut kita sadari, dalam perjalanan pasti kita akan menemukan berbagai macam gesekan sehingga kadang membuat sepatu kita menjadi lebih tipis. Seseorang bisa saja memberikan saran itu membeli sepatu baru, tapi itu sepatu kalian. Kalian mempunyai hak untuk tetap memakainya atau membuangnya ke tong sampah. ( Dan saya tahu, membuat pilihan itu sangat sulit. ) Saya kemudian menjadi takut. Bagaimana jika ketika menikah, sepatu saya bergesekan dengan sepatu suami saya? Bagaimana jika suami saya menghimbau untuk segera membeli sepatu yang baru? Inilah yang kemudian mengusik saya ketika mendengar kata pernikahan. Apakah kebebasan untuk mempertahankan sepatu hidup dalam bahtera pernikahan? Memori saya berputar kepada potongan-potongan film '5 Days of War'. Wanita bagaikan negara Georgia yang sedang mempertahankan kemerdekaannya yang diserang oleh Rusia. Seperti Georgia, wanita yang memilih untuk menggunakan haknya untuk mempertahankan sepatunya pun harus siap terhadap segala macam gesekan. Diplomasi, merupakan jalan damai sebuah negara ketika sedang berkonflik. Oleh karenanya, apabila terjadi gesekan dalam kehidupan rumah tangga, kita bisa menyelesaikan dengan bicara. Ya, bicara. Seperti yang dipaparkan oleh jurnal yang saya katakan di atas, bahwa kurangnya komunikasi bisa menyebabkan terjadinya KDRT. Oleh karenanya kita harus pintar-pintar menjaga komunikasi. Kalau kita pintar, kita bisa menyelesaikannya dengan kepala dingin tanpa korban piring pecah, salah satu bentuk pengendalian emosi yang bisa mengurangi penyebab adanya kekerasan. Masalah apapun, pasti akan ada jalan keluarnya tanpa harus menggunakan kekerasan. Saya percaya, para wanita yang telah menikah pasti mempunyai laki-laki yang akan mengerti mengapa istrinya begitu ngotot mempertahankan sepatunya. Meski bukan sekarang, meski untuk beberapa tahun ke depan. Yah, patuh kepada suami boleh saja, tapi ingatlah, tidak ada manusia yang sempurna, suami pun perlu seseorang untuk mengingatkan dia ketika salah. Dan satu hal yang tak dapat dipungkiri adalah sepatu ini merupakan sebuah pengalaman yang tidak mungkin kita tinggalkan. Pengalaman berharga yang kemudian membentuk sebuah prinsip hidup. Wanita mana saja pasti tidak mau mengalami KDRT, tidak mau mengalami tekanan.
Cinta boleh saja buta, tapi kita harus punya mata.
2 komentar:
Takut "tidak bebas" itu manusiawi ya, apalagi realita yg kita takuti itu memang ada. Hidup ini sih tergantung bagaimana kita menjalaninya. Sebenarnya bukan pada saat sudah menikah saja "tidak bebas" itu muncul, di saat kapan pun juga bisa terjadi. Tapi, sekarang ini konteksnya kan menikah. Pasangan yang menyenangkan itu adalah pasangan yang mengerti dan menerima. Kalau dia sudah mengerti dan menerima, apa pun yang terjadi dia pasti tidak akan komplen selama itu tidak melanggar norma. Pasangan juga butuh cek dan ricek lagi. sebelum dan sesudah menikah memang beda. semua tergantung dari cara berpikir. terkadang benar bagi kita, belum tentu benar bagi logika.
benar. semua akhirnya kembali kepada cara berfikir masing-masing orang. pasangan kita pun tidak selamanya memiliki cara pandang yang sama dengan kita. oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa kedewasaan merupakan 'syarat' tidak tertulis yg patut dipertimbangkan sebelum kita menikah. tentunya, maturity is not depend on age.
terimakasih sudah memberi komentar :))
Posting Komentar