21.12.12

Pelukan itu.

apa kabar, Malta?
sepertinya suratku sudah sampai, ya?
semoga bisa mengendap, dan segala aroma rasa yang terkumpul di dalamnya dapat memenuhi ruang otakmu.

baiklah. jadi begini..
lengan percayaku sudah memelukmu, dan kamu tau itu.
dan aku baru saja menemukan sesuatu dalam kotak yang ada di tumpukkan bawah.
entah sengaja, atau termakan waktu saja.
aku juga tidak tau.
apakah kotak itu masih difungsikan, atau ingin kau buang tapi tak bisa, atau..
entahlah.
pinsilku sampai patah.
entah karena emosi, atau karena pelukanku perlahan melorot, melepaskan eratnya darimu.

aku benci pertanyaan.
tapi kau tidak memberiku energi untuk selalu bisa memelukmu.
aku tidak bisa berdiri sendiri.
logikaku memarahi aku.
bahkan ia marah ketika musuhnya, hati, merintih kesakitan.

entah apa yang ada di pikiranmu, Malta.
aku tidak tau.
aku tidak pernah tau.
karena mulutmu terkunci dan aku tak menemukan aku dalam matamu.
tidak ada aku.
tidak ada.

ah, pinsilku patah lagi.

Malta, mengapa aku tidak bisa memelukmu lagi?

Yang selalu melihatmu,
Jani.

20.12.12

Malta dan Jani.

Hai, Malta.

Ini surat pertama, dan akan ada surat-surat lainnya yang mendiami kotak suratmu sejenak sebelum berpindah ke tanganmu dan mengendap dalam memorimu melalui mata besarmu.
Aku pernah cerita, bagaimana bingungnya aku dengan apa yang terjadi beberapa bulan belakangan ini.
Bolak-balik aku ke bengkel, hanya untuk membenahi logikaku.
Mungkin karena terlalu sering kugunakan lebih dari sebagaimana mestinya.
Sehingga, beberapa bulan ini aku sering kerepotan karena mau tidak mau aku memakai hati untuk berfikir.
Kamu tau kan, Malta, bagaimana ribetnya memakai hati.
Aku tidak terbiasa. Dan ketika memakainya, rasanya aku seperti memakai kemeja dengan kancing yang tidak dikancingkan pada lubangnya. Amburadul.

Haha. Kau pasti tertawa, Malta.
Ya. Tidak ada yang mengetahui aku lebih dalam daripada kamu.
Bahkan sebelum aku mengetahuinya, kamu sudah tau lebih dulu.
Selalu ada dua Jani di dalam satu Jani.

Aku ingin menyapamu malam ini, Malta.
Tapi aku terlalu tenggelam dalam ego yang sedikit demi sedikit memakan akal sehatku.
Egoku pun akhirnya, memuarakanku kepada ketakutan yang selama ini menjadi tembok besar di rumah.
Baru saja, malam tadi, aku katakan untuk melawan rasa takutku.
Tapi kemudian ia datang seperti petir.
Tiba-tiba, mengagetkan, dan menyisakan gemeretuk gigi karena ngeri.
Aku harus bagaimana, Malta?
Ketika aku sudah kenyang dengan pertanyaan, kamu malah menjejaliku dengan semangkuk tanda tanya.
Tidak bisakah kamu mengerti saja, hanya mengerti saja, bahwa aku tidak suka?
Aku tidak ingin menyendok mangkukmu.

Tidak bisakah,
kamu mengerti saja,
hanya mengerti.
bahwa aku tidak suka?

Yang ingin meruntuhkan segala pertanyaanmu,
Jani.


12.12.12

It's H.

suatu saat aku akan menulis surat tanpa nama kepada dewa Ra,
bahwa detik ini tak ada lagi rotasi satu semesta padanya,
bahwa kepingan ruang dan waktu telah tersimpan rapi dalam kotak pandora,
bahwa tidak ada sengatan Matahari yang dapat masuk dalam semestaku,
bahwa kunci yang sedari dulu hanya bisa kusimpan rapi, telah beralih tangan,
bahwa semestaku menemukan elemen baru.
bahwa suatu saat itu tidak perlu menghabiskan ribuan tahun,
bahwa suatu saat itu adalah saat ini,
ketika aku tak bisa berhenti menengok permukaan, meski hal itu membuat nafasku tersengal.
hanya untuk melihat elemenku, tidur mendengkur.
ketika tawaku pecah saat menikmati angin pantai yang lengket ketika ia menculikku.
ketika pupil tidak bisa tidak menangkap bayangannya, kemanapun ia pergi,
ketika aku terjatuh, dan ternyata ia menangkapku.
ketika ia menunggu di permukaan hanya untuk melihatku tersenyum dan menyerahkan kunci milikku,
ketika waktu tiba-tiba berhenti, dan aku bisa bernafas tanpa insang.

aku tak lagi berotasi, aku tak lagi berada di tepi jurang.
aku berada di guanya, meski aku belum tau bagaimana cara bernafas sepertinya.