Hai, Malta.
Ini surat pertama, dan akan ada surat-surat lainnya yang mendiami kotak suratmu sejenak sebelum berpindah ke tanganmu dan mengendap dalam memorimu melalui mata besarmu.
Aku pernah cerita, bagaimana bingungnya aku dengan apa yang terjadi beberapa bulan belakangan ini.
Bolak-balik aku ke bengkel, hanya untuk membenahi logikaku.
Mungkin karena terlalu sering kugunakan lebih dari sebagaimana mestinya.
Sehingga, beberapa bulan ini aku sering kerepotan karena mau tidak mau aku memakai hati untuk berfikir.
Kamu tau kan, Malta, bagaimana ribetnya memakai hati.
Aku tidak terbiasa. Dan ketika memakainya, rasanya aku seperti memakai kemeja dengan kancing yang tidak dikancingkan pada lubangnya. Amburadul.
Haha. Kau pasti tertawa, Malta.
Ya. Tidak ada yang mengetahui aku lebih dalam daripada kamu.
Bahkan sebelum aku mengetahuinya, kamu sudah tau lebih dulu.
Selalu ada dua Jani di dalam satu Jani.
Aku ingin menyapamu malam ini, Malta.
Tapi aku terlalu tenggelam dalam ego yang sedikit demi sedikit memakan akal sehatku.
Egoku pun akhirnya, memuarakanku kepada ketakutan yang selama ini menjadi tembok besar di rumah.
Baru saja, malam tadi, aku katakan untuk melawan rasa takutku.
Tapi kemudian ia datang seperti petir.
Tiba-tiba, mengagetkan, dan menyisakan gemeretuk gigi karena ngeri.
Aku harus bagaimana, Malta?
Ketika aku sudah kenyang dengan pertanyaan, kamu malah menjejaliku dengan semangkuk tanda tanya.
Tidak bisakah kamu mengerti saja, hanya mengerti saja, bahwa aku tidak suka?
Aku tidak ingin menyendok mangkukmu.
Tidak bisakah,
kamu mengerti saja,
hanya mengerti.
bahwa aku tidak suka?
Yang ingin meruntuhkan segala pertanyaanmu,
Jani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar