21.9.10

tentang perempuan

di saat aku sedang menikmati fotosintesisku dengan matahari,
tiba-tiba sesuatu datang.
memecah konsentrasi.
pandanganku kabur.
mungkin kabut, tapi sampai nafasku habis.
ia tak kunjung pergi.

sebenarnya

aku tak masalah.
lebih tepatnya, aku tak perduli.
suka-suka dialah.
mau berbicara di depan, belakang, samping, tengah.
ah, bagiku sama saja.

asal

dia tak mengganggu seperti benalu.
dia tak merayu seperti gincu.
dia tak membuatku linu seperti sembilu.

jika kau tertangkap basah

lihat saja. hey, kau sesuatu yang tak jelas!
ku koyak tubuhmu seperti serigala.

Tidak tahu malu

seperti jelangkung.
datang tak dijemput.
pulang tak diantar.

seperti datang bulan.
datang tak beri salam.
pergi tak beri kabar.

kamu itu memang tidak tahu malu.
tidak punya sopan santun.
tidak punya kamus tata krama dalam otakmu.
kamu itu seenaknya sendiri.
tidak peduli apa yang sedang kulakukan.
tidak memikirkan apapun yang ingin aku lakukan.

hey, mister.
aku malas sekali melihatmu.
bahkan untuk melirik saja.
ingin muntah.
pergi saja kau, Badmood.
aku tak tertarik.
dan kau memang tidak menarik.

19.9.10

Semoga YBS membaca.

Eigenar : "Kalau sampai aku bertemu dengan orang yang membuatmu trauma, aku bunuh dia"

17.9.10

Pena tinta emas

Aku cuma selembar kertas.
Sudah lungset.
Kusut, malah hampir robek.
Aku tak sembarang memilih pena.
Meski kumuh, aku bisa sombong.
Aku punya hak meninggikan standar pena.
Dari KW 1 ke original.
Agar, saat pena menyetubuhiku, aku tak kesakitan.

Tapi, hati-hati.

Meski sekarang aku sudah mengantongi pena dengan tinta emas.
Ia tak bisa sembarang menjamahku.
Jangan sampai aku bolong.
Untuk kesekian kalinya.

16.9.10

Ibuku bukan Tahu

hey telur
aku memang pasanganmu
aku bisa melebur
gesit melewati selaputmu
kemudian tercebur kedalam lautanmu yang berwarna kuning
cepat
tak perlu banyak detik

tapi ibuku, bukan Tahu, sepertiku
ia adalah tempe dengan kedelai super alot
butuh sendok untuk menghancurkannya
pelan-pelan
agar bisa menyatu denganmu
merasakan gizimu

hey telur. bersabarlah.
pasti kau akan segera bersahabat erat dengan kumpulan para dele itu.

12.9.10

Merindu Pagi.

Aku suka suasana seperti ini.
Pagi hari.
Teras rumah.
Segelas kopi.
Dan sepiring bala-bala.
Melihat langit yang belum menguning.
Menghirup udara yang belum menghitam.
Menikmati gunung di sebelah kiri.
Meresapi sawah yang menghampar.

Aku memang paling suka suasana seperti ini.
Dimana kutak dapatkan kebisingan.
Dimana kutak dapatkan asap hitam.
Ingin rasanya ku bungkus dan ku letakkan dalam koper.
Membawa serta diam-diam ke Surabaya.
Sehingga aku bisa menyesapinya suka suka.

Hai, Pagi. Masuklah.
Anggap aku sebagai rumah sendiri.
Tinggallah.
Sehari, dua hari, atau selamanya.
Berikan aku taburan mejikmu.
Torehkan suasana hangatmu.
Agar kapan saja, jika aku memejamkan mata.
Aku bisa menciumi aromamu.
Dan memeluk erat sejukmu.

Garut, 12 Agustus 2010

11.9.10

Kaifa khaluk?

Hidupku penuh cerita.
Cerita dengan tawa.
Duka.
Bahagia.
Aku tak pernah merutuki apapun yang sudah terjadi pada lembaran buku besarku.
Setidaknya, aku berusaha untuk tidak menyesali.
Semanis, ataupun sepahit apapun.

Begitu tertariknya, kubuka kembali satu lembar cerita yang sudah lama, tapi masih belum mempunyai akhir.
Bukannya aku tak mau menyelesaikan.
Aku hanya tak sanggup, dan mungkin terlalu takut.
Waktu itu saja, kubuka dengan sangat amat hati-hati.
Saking ringkih dan rapuhnya!

Hey, belahan jiwaku yang terpendam!
Ya. Aku berbicara tentang kamu.
Kamu yang seperti patung.
Kamu yang sedingin es.
Kamu dengan kerumitan pola pikirmu.
Kamu dengan segala sifatmu yang selalu buat pusing kepalaku.
Kamu. Yang bisa buat menyumpah serapahkan diriku, karena tak bisa mengerti kamu.

Dulu. Kamu adalah kasihku yang punya banyak waktu denganku.
Bercanda di pesan seluler.
Berkencan di toko buku.
Saling bercumbu kala bercengkrama tentang film.
Dan semua celotehmu yang selalu membuatku rindu.
Seoalah aku adalah pemenang.
Berhasil masuk dalam dimensimu yang seperti labirin.
Rumit.
Banyak pintu.
Memusingkan.
Ya. Aku berhasil.
Dulu.

Tidakkah kamu tahu, wahai kasihku?
Mungkin sekarang.
Aku bukan The Beatles yang menyejukkan matamu.
Aku juga bukan Matematika yang tiap hari kau cumbu.
Aku bahkan bukan Dunia yang ingin kau taklukan suatu hari.
Tapi aku benar rindu kamu, kasihku.
Ingin sekali kubakar, lalu kutimbun semua masalah itu.
Di makan cacing dan menjadi tanah.
Ingin sekali kuputar waktu, lalu kukembali ke masa itu.
Takkan kuusik. Sehingga hari ini pasti kubisa mendengar ceritamu.
Aku memang tak pernah menyesali semua cerita yang terjadi pada hidupku.
Tapi khusus bagian ini.
Jika aku kembali, aku pasti berfikir dua kali.

Ah, Kasihku.
Andai Argentina sedekat Sidoarjo.
Aku pasti berkunjung ke rumahmu.
Memberi peluk.
Memberi kecup.
Demi satu yang aku inginkan.

Maaf.

Minal aidzin wal faidzin, Astrid Wasistyanti. Khilaf itu aku sesali. Khilaf itu seharusnya tak ku ikuti. Khilaf itu kesalahan, noda, yang benar-benar ingin aku hilangkan.
Semoga Argentina memberimu kenyamanan yang luarbiasa.

Sincerely,
Dela Rosita.

8.9.10

Rindu. Satu. Kamu

Aku sedang merah jambu.
Karena hujan jatuh terus menerus hingga terseok-seok.
Aku tidak sedang ingin berkelabu.
Atau bahkan menderai biru.
Aku hanya ingin merah jambu meski hati meradang Rindu.

Mengapa rindu ini perih?
Seperti luka yang tersiram jeruk nipis.
Seperti peluk yang tak dapat sambutan oleh lengan. Miris.
Dan sialnya.
Rindu ini semakin menebal seperti kulit babat yang ku benci.
Rindu ini semakin menyengat seperti parfum Paris Hilton.
Aku tak sanggup bernafas.
Terhimpit tebal dan menyengatnya rindu.

Kau berada jauh ratusan kilometer dari ragaku.
Kau bawakan bayangmu untukmu.
Kalau-kalau kau rindu, peluklah ia meski hitam. Katamu.
Ketika rindu mampir, aku peluk kemudian aku ajak ngobrol saja bayangmu.
Hangat sih, tapi aku tetap saja merasa dingin.
Karena ia tak bisa mengucap kata dan doa dari mulutnya yang bisa menenangkanku.

Tak ada lagi yang bisa ku lakukan dengan bayangmu.
Jiwa kompeniku muncul.
Aku ingin memonopolimu.
Bahkan lebih dari tiga abad.
Lebih dari selamanya.

Wahai Rindu. Susurilah hatiku sesuka hatimu.
Karenamu, hatiku semakin kuat.
Dan kelak, akan tumbuh buah manis dan legit, hasil segalon Sabar yang kusiram tiap kau datang.

Rinduku Satu, Eigenar. Dan hanya untuk Kamu.

1.9.10

Korelasi

Barat dan Timur.
Dua arah yang berlawanan.
Tidak akan pernah bertemu.
Tidak akan pernah melebur.
Namun matahari, yang membuatnya menjadi satu pasang.
Dan garis mata angin selalu meletakkannya secara sejajar.

Hitam dan Putih.
Warna yang kontras.
Jika letakkan hitam di atas putih, hasilnya kotor.
Jika letakkan putih di atas hitam, percuma. tak nampak.
Namun abu-abu, yang membuat mereka bertemu.
Bersatu dan bercumbu.

Aku dan Kamu.
Seperti Barat dan Timur.
Berlawanan. Tak melebur.
Seperti Hitam dan Putih.
Kontras. Tak indah.
Mungkin Tuhan salah menempatkan takdir.
Mungkin sebenarnya, Kamu bukan untukku.
Karena semua terlalu berlawanan.

Aku perempuan hitam.
Aku tidak manis. tidak bersih. dan kasar.
Rasanya aku takut untuk menginjak ruang putihmu.
Tapi apa jawabmu ketika kuberkata seperti itu?
"Justru di situlah letak manismu"
Aku tak mengerti.

Aku mencoba membaca sirat matamu.
Mengikuti alur gerakan yang di buat oleh bibirmu.
Aku bukan orang yang mengerti akan analogi.
Tapi, matamu menusuk tajam hatiku.
Lalu aku malu.
Segala kemungkinan yang kuciptakan.
Segala kesimpulan yang kuhasilkan.
Tak satupun mendapat anggukan darimu.
Bahwa mungkin, Tuhan salah memberiku takdir.
Bahwa mungkin, Tuhan tidak mencipkan kamu untukku.
Matamu bagai api.
Membakar segala kemungkinan yang ku buat.
Matamu bagai parang.
Mematahkan segala kesimpulan yang ku munculkan.
Matamu berbicara serius.
Bahwa Barat dan Timur bersatu karena adanya matahari.
Bahwa Hitam dan Putih bisa lebur karena si abu-abu.
Bahwa aku memang sebuah takdir baik untukmu.
Bahwa aku adalah ciptaan Tuhan untukmu.
Bahwa sekontras apapun.
Aku dan Kamu memang waktunya bertemu.
dan Tuhan-pun setuju.

Kamu adalah alasan dan jawaban atas semua pertanyaan.

Hey, Eigenar.
Jika kau membaca ini.
Sampaikan salam pada Tuhan yang begitu baik.
Karena sudah menggariskan takdirku menuju tempatmu :)